30.5.08

cherry on top: the bitter aftertaste is eternal

i've got more wit, a better kiss, a hotter touch, a better fuck
than any boy you'll ever meet, sweetie you had me
girl I was it, look past the sweat, a better love deserving of
exchanging body heat in the passenger seat?
no, no, no, you know it will always just be me



7.5.08

petaprioritas

uang di ujung gang
lupa diri ini cuma magang
jual hati nutup utang

6.5.08

confession

notes: caution, this post contains material that most likely posted in postsecret webpage.

"i was bullied yesterday. by some of the hotshots of this country. i understand that bullies prefer to poke on the most vulnerable of the pack. they chose me. the youngest of the clan."

it is an irony that we call ourselves humanitarian organisations. somehow, i forgot that being spiteful is very humane. or, accordingly, i must have done worse than worst in my previous life to these people.

my bad, then.

suicidal

setiap kali melalui perempatan itu yang terbayang adalah melintas dengan terburu-buru. berpura-pura tidak tahu bahwa lampu menyala hijau. diam-diam menyerahkan diri kepada moncong-moncong kijang baru atau hidung pesek bis-bis tigaperempat yang berlalu dengan kecepatan penuh mampu menumbuk apapun yang ada di depannya. termasuk penyeberang yang sudah tidak tahu lagi apa yang masih penting. kemudian ia akan terlempar dengan cepat ke aspal yang panas karena sudah tiga hari tidak hujan. rambutnya yang kusam tapi tersisir rapi akan membelai jalanan yang mungkin rapat dengan ludah kondektur bis. kilat-kilat ingatan masa kecil yang naif hingga penyebab ia menjadi mahkluk dewasa yang apatis akan berserakan di pikirannya. seperti keping-keping kaca patri yang meletik-letik dipecahkan orang-orang berotak keruh di sebuah gereja jelek yang pernah dilihatnya di suatu tempat yang kini sudah tak penting lagi. seiring dengan terhempasnya tempurung otaknya ke pinggir trotoar, masa-masa indah dan suram berlompatan bergantian semakin cepat semakin tak jelas. bagaikan adegan-adegan di sebuah film terorisme yang dibintangi dennis quaid yang judulnya tak lagi perlu dipikirkan keras-keras. lebih baik mengingat wajah ibu yang datar namun mahir mengolah mi instan yang karenanya ia mencintainya. tak sampai sedetik cairan-cairan merah segar akan segera mengalir meninggalkan tubuhnya. ia tidak akan sempat menangis. entah apa lagi yang masih bisa dilakukannya. mungkin sekali lagi menarik nafas panjang. untuk membantu melepaskan jiwa yang masai dari raga yang masih layak pakai untuk lebih dari tigapuluh tahun lagi.

sampai sebelum kemarin, ia tidak pernah menemukan alasan yang tepat untuk mewujudkan khayalannya.


-iskandarsyah post, setiap saat sejak itu-