27.1.05

selingkuh


aku tidak pernah membayangkan bahwa pria
berkulit kelam itu akan kembali. sekarang aku menghadapi sebuah cerita
yang semi nyata. bahwa ia adalah seorang lelaki yang sangat menarik.
dialah lelaki dalam khayalan penulis-penulis depresif yang bermasalah.
sebentuk jiwa yang nyata yang tidak hanya mengerti apa itu warna tapi
juga paham dimensi dan paham bagaimana merangkainya hingga mataku
terhibur dengan bayang-bayang yang banyak disebut orang sebagai
bernilai estetika. pikiran-pikiran cerdasnya memuai dalam otakku yang
kosong dan membuai imajinasiku. ia membuatku mengangguk setuju bahwa ia
adalah lelaki yang memaknai tindakan-tindakan berlebihan lebih dalam
dari sekedar bunga mawar lima ribuan seorang lelaki gombal kepada gadis
centil bergaun merah muda.


sayang,
aku tidak bisa memberikan pembenaran, bahkan pada diriku sendiri, jika
aku kembali melayani kehadirannya. aku hanya mampu menarik dan
menghembuskan angin dari cuping-cuping hidungku untuk mengurangi sejuta
‘jika saja.’ tak sedikitpun timbul keberanian untuk semata-mata
membayangkan sebuah ‘ternyata.’ aku hanya bergeming dan bersikap dingin
memandang huruf-huruf yang berderet dalam surat elektronik yang
dikirimnya kepadaku kemarin. aku mengharamkan diriku untuk merasa
senang atas kehadiran benda tersebut karena aku mampu merasakan bahwa
aku tidak ingin seorang aku hadir dan mengkhayalkan lelaki dekil itu
bila sekarang aku yang di sampingnya.

‘he beats you once, and he’ll beat you again!’ -ryan-the oc-




25.1.05

oh, well

Lt. Daniel Kaffee: I want the truth! I deserve the truth!
Col. Nathan R. Jessep: You want the truth?! You can’t handle the truth!
-A Few Good Men-

kejadian 1: menjelang masa-masa umptn 2001, di meja makan
ibu: mau masuk despro? wong KAMU *nggak* bisa nggambar ngono, lho!
saya: (diam saja, kata-kata sebelumnya, mulai terinternalisasi, dalam hati berpikir, emang kali, ya?).

kejadian 2: ruang bimbingan dan konseling salah satu smu negeri terbaik di surabaya
guru: kamu jadi mau ndaftar ui? ndak usah aja, ya? daripada KAMU *susah* nanti di sananya.
saya: oh, ya, bu. ndak jadi juga ndak papa. (tidak membantah, dalam hati menahan dongkol)

kejadian 3: kantin sebuah fakultas di salah satu universitas negeri di jakarta
teman 1 (wanita): kalo lo cewek yang *nggak* cantik tapi enak diajak ngobrol siapa?
teman 2 (laki-laki):DIA! (seraya menunjuk tepat di hidung saya. GEDUMBRANG!).
saya: (pasrah. jeb! shot through the heart and head!) ooooh… (nggak tau harus ngomong apa).
teman 3 (wanita): bo’! lo eksplisit, ya ngomongnya!

kejadian 4: perpustakaan sebuah fakultas di salah satu universitas negeri di jakarta
teman
1 (laki-laki): waktu gw denger lo yang jadi PO GSR, gw dalam hati
bilang, *emang bisa apa*? lo kan *nggak* tahu apa-apa (GUBRAAAAK!).
teman 2 (wanita): (tidak tahu mesti berkomentar seperti apa).
saya: (lagi-lagi pasrah dan hanya bisa tersenyum pasrah)

kejadian 5: sebuah rumah di daerah jakarta selatan
pembantu 1 (wanita): sopo sing ngeterke?
majikan (wanita): adik.
pembantu 1: *iso, tah, adik nyetir*?
majikan (wanita): (diam saja, mungkin dalam hati berpikir dua kali) wis gak usah kakean omong, ndang bukaen lawange! ayo, dik!
saya: (lagi lagi lagi, hanya tersenyum pasrah) ya!
pembantu 1: kono, sri, bukaen lawange!
pembantu 2 (wanita): nggih!

i’m
starting to get used to people doubting of what i’m capable of, and i
can see that some time they’re only saying what crossed on their mind,
but people, people, have a heart, please! it's likely that *i* can't
handle the truth

20.1.05

kartu kredit, pensiun, dan banyak hal lain


i could’ve sworn that my mum once said that she doesn’t like having
debts and that she won’t use any form of credit cards. as i recalled
she said ‘ra nduwe duwit, yo ra usah tuku, sing penting ra ngutang, ra
sah ngridit-ngridit, gampang, tho?’ she despised the fact that my dad
–being stingy and good spender with a quite fine taste for anything
him-oriented- was starting to use a credit card when i was in high
school.

our life was beginning to blossom then. we had two cars
–the same ones we had now added up with bruises here and there. he had
a mobile phone. my mum was able to pay a guy –whom i had predicted in
the first place that he’s a charlatan and that later my prophecy came
true- to do the landscape thingy for her garden. we occasionally had
dinners in fancy restaurants. and of course my dad had a credit card.

he
was paying everything that had at least six digits number written on
the price tag with his credit card. my mum –being worried for dad had
told her the story of the debt collectors who beat up his secretary for
a late bill payment- condemned that 8 times 5 centimeters object. it’s
a good attitude in my opinion, bear in mind that it’s always a good
thing not to have debts. so, i agreed with her standpoint.

yet,
what happened when she reached her pre-retirement days? she applied for
a credit card! later it was approved and there she has it, my mum’s
credit card. i didn’t know what has gotten in to her to finally go
along with the lifestyle that I doubt it was made upon her own need. at
least that was what i thought.

until i started thinking that
perhaps she do needs that credit card. she –supporting for me and my
brother’s necessities (in terms of going to the movie, paying for cars’
maintenance, buying books or unhealthy snacks etc.) and sometimes our
tuitions that was supposed to be my dad’s responsibility plus sometimes
being taken advantage by my dad for she’s a very austere and obedient
wife- must be aware that she has to be well-organized with her money
–having to earn her own income as a middling employee. along with the
retirement coming, she must have realized that she won’t be having cash
as much as she used to while she still has to aid her two
soon-to-be-an-udergraduate-yet-remain-jobless-so-far offspring. so, she
had to have that credit card.

her life isn’t that simple after
all. she has to liberate her principle for the ones she loved. i don’t
blame her for having one. people applied for credit card for plenty of
reasons. my mum had hers. with a bit of guilt –yet i still enjoyed it
anyway- i took advantage of her having a credit card, just like this
afternoon. so, it’s obvious why these days I need to have a job that
pays well. i can’t expect my dad to do the things my mum did nor can i
deceive my mum any longer. a bitch has to remain her own standards,
rite?


13.1.05

bahagiaku sederhana

tiba-tiba aku ingat tentang sepasang angsa di depan puri sekar
handayani. ekor mereka yang bergoyang-goyang. paruh mereka dengan suara
‘ngaak ngaak’ yang sangat berisik dan mengganggu tidur seorang ipeh.
tidak ada yang istimewa.

kemarin aku senang melihat seekor
kura-kura berukuran seperempat telapak tanganku. tempurung kura-kura
mungil itu nyaris terpotong gunting rumput sang perempuan gundul yang
kurang waspada. aku mengelus takjub tempurungnya yang masih berwarna
coklat gelap. ia menjulurkan kepala dan keempat kakinya malu-malu. aku
menerka-nerka usianya. tak lama, aku sudah melihatnya terjun ke dalam
kolam, bergabung dengan dua kura-kura sedang, saudaranya. sepasang
kura-kura hitam itu beranak lagi. hmm...kira-kira ia sendirian atau
masih ada saudaranya yang lain?

beberapa minggu yang lalu aku
mengunjungi spirou di dinas kesehatan. ia sedang dalam perawatan. ia
akan dioperasi. ada batu di ginjalnya. bahkan menurut dokter dengan
keadaan seperti itu, seharusnya ia sudah menjalani cuci darah rutin.
sedihnya. matanya sayu. ia malas melakukan apapun, tidak terlalu aneh,
karena ia biasa bermalas-malasan. yang janggal adalah ia juga malas
makan. spirou tidak pernah malas makan. waktu itu, tubuhnya kurus.
untung sekarang ia sudah sehat. operasinya berhasil. ia sudah mulai
makan dengan lahap. dua kali lebih banyak dari porsi yang biasa. ia
hanya perlu sedikit olah raga dan banyak minum air putih. begitu kata
dokter. supaya tidak ada lagi batu-batuan bersarang di ginjalnya.
akupun kembali lega.

beberapa bulan yang lalu aku menghabiskan
waktu dengan sahabat-sahabat lamaku. berjam-jam duduk di food court
sebuah lokasi perbelanjaan. sesekali kami minum. selebihnya kami
mengobrol. aku suka sekali berbicara tentang berbagai hal. hanya
duduk-duduk dan berbicara. sekali setahun dengan karib sma. nyaris
setiap hari dengan kawan-kawan kuliah. kadang kala dengan dosen atau
guru les. bahkan dengan orang yang baru kukenal. aku pun suka
berbincang dengan keluarga. apalagi dengan lelaki itu. di mana saja. di
dapur teman smp sambil menikmati segelas sirup coco pandan dalam rangka
hari raya. di sebuah bis antar kota menjelang waktu-waktu shalat malam.
di sela-sela pergantian mata kuliah. waktu sarapan sebelum mengakhiri
sebuah pertemuan antar mahasiswa. di dalam mobil saat perjalanan mudik.
di meja makan disambi mengunyah lumpia gorengan ibu setelah sembilan
jam terpaku di kereta. di suatu malam menegangkan saat penghitungan
suara pemilihan ketua sebuah lembaga. terutama di perpustakaan selagi
menanti lampu untuk menyala lagi atau bahkan saat liburan. aku
berbicara tentang apa saja. masa lalu. kucing. kuliah. film. musik.
buku. olah raga. politik. gosip. prinsip. harapan. impian. ambisi.
penyesalan. keluarga. teman. sahabat. saudara. pacar. dan tentu saja,
cinta.

di suatu musim hujan, aku memandang keluar jendela. dua
ekor katak sedang berlompat-lompatan. precil, kata orang jawa. katak
kecil. bukan kecebong. mereka sedang menikmati hujan. biasanya, di
rumah nenek, jika hujan lebat datang, aku membantunya menangkapi
katak-katak kecil yang tanpa malu-malu masuk rumah. bukan pekerjaan
mudah. mereka tidak hanya berdua. kadang-kadang ratusan. apalagi bila
air selokan meluap. dulu, ketika di samping rumah belum dibangun rumah
tingkat, tiap kali hujan selalu terdengar suara katak-katak bernyanyi.
senangnya. kamarku pun belum bocor saat itu. sesekali tergerak hatiku
untuk membuka jendela dan mencoba menangkap precil-precil itu. aku
rindu memegang kulit licin mahkluk-mahkluk amfibia itu. lalu aku ingat
betapa kesalnya jika ibuku menyuruhku mengangkat jemuran ketika aku
sedang bermain. perusak kesenangan orang. serta merta kuurungkan
niatku. selain itu, aku suka melihat mereka melompat-lompat.

aku
selalu suka jalan-jalan. hanya bersama sepasang kaki-kaki lambatku di
pagi hari menyusuri jalan pintas menuju kampus. diam membisu dan
menikmati jajaran pohon kapas sendirian. atau sambil bercanda konyol
dengan teman-teman dan sahabatku yang baru saja turun dari kereta api
listrik. juga tentu saja sembari berbagi koran pagi dengan lelaki itu.
aku pun suka berkendara. dari becak sampai pesawat. semuanya. di pagi
buta dengan mata yang masih setengah mengatup. di tengah-tengah
keriuhan bis, bemo dan sepeda motor jahanam. di panas terik di
sela-sela lirik-lirik pengendur semangat. beberapa jam sebelum adzan
maghrib selagi menikmati berpotong-potong cemilan tak sehat. mulai
surabaya hingga lombok. sendiri. berdua. beramai-ramai. dengan kakak.
atau ibu. keluarga besar. keluarga inti. juga teman-teman. sahabat.
serta pastinya lelaki itu. entah untuk sekedar kota-kota. sekolah. les.
belanja. ibadah. menjenguk. mengantar. menjemput. mencari. apapun.

gampang,
yang penting hatiku senang. hanya membutuhkan mata, telinga, lidah,
otak dan hati. tidak mahal. sebagian orang menyebutku simple pleasure.
mungkin mereka benar. kalau dibuat enak ya enak, enggak ya enggak. tak
pernah mau diatur oleh keadaan dan selalu berusaha untuk menikmati
apapun. meskipun tidak mudah. selalu mencoba belajar dari sesuatu yang
sangat dibenci ‘hidup memang sudah susah. tapi jangan dibikin susah.’

tentang beribu jam setelah perintah selembar keju


ketika aku sadar bahwa kata-kata itu hanyalah luapan kekesalanku, aku
hanya bisa mengeluarkan helaan panjang. aku tidak pernah benar-benar
membencimu. sama bukan? kau pun begitu. hanya kadang aku tak mengerti,
kau selalu memintaku begini dan begitu, tanpa kau sisihkan waktu untuk
mendengar keberatanku? jika ceritaku menjenuhkan pikiranmu atau
nyanyianku terdengar seperti suara penyiar melafalkan rentetan
harga-harga tomat bondol dan cabe keriting di RRI, mengapa tak kau
katakan? hmmm. aku pasti akan sakit hati? tentu saja, tetapi itulah
saat ketika aku belajar menerima bahwa aku tidak sempurna.

aku
kembali menghela nafas ketika aku ingat bahwa masalahmu bukan hanya
aku. aku harus membagimu dengan yang lain. dunia tidak hanya tentang
dirimu untukku. namun, sempatkah dirimu menanyakan siapa lelaki-lelaki
yang terkadang singgah setelah adzan isya berkumandang. atau sudikah
kau tinggal dan bercakap-cakap dengan teman-teman wanitaku seperti
ketika secara tak sengaja mereka berkendara bersama kita? atau
khawatirkah dirimu ketika aku bermalam dengan berpuluh-puluh orang yang
baru saja kukenal selama kurang dari tiga bulan? kau jarang melarangku
melakukan sesuatu. lucunya, kadang aku ingin kau melakukan itu. kau
tidak ingin aku membencimu karena kau mengekangku? jangankan tentang
itu, aku juga sudah kesal padamu dengan berbagai alasan yang lain.

kadang
semua terasa lebih berat, seperti ketika aku sadar bahwa aku masih
menyimpan kenangan ketika dirimu dengan setia menantiku di dalam mobil
di depan gerbang sekolah. saat kau menungguku selama berjam-jam di
parkiran yang terik, sementara aku bercanda dengan teman-temanku. tidak
banyak orang yang mau melakukan itu untukku. bahkan orang-orang yang
digaji papa pun tidak suka menungguku selama itu. hanya kau yang mau
melakukannya. tanpa gerutuan sesudahnya. gratis. ditambah senyum lepas
dan sebungkus martabak mini. aku pun tak pernah bertanya mengapa.

semoga
hidupku tidak akan pernah benar-benar menjadi seperti joel dan
clementine. aku menghargai setiap kenanganmu bersamaku. bahkan yang
terpahit sekalipun. meskipun mungkin diriku tidak akan pernah berterima
kasih atas kehadiranmu di dalam kehidupanku. aku tidak akan sempat
memujamu. aku tak punya waktu mencerna kasihmu. aku tidak akan ingat
jika dirimu pasti akan melakukan apapun untuk membahagiakanku. aku
tidak pernah merasakan sayangmu, senyummu, cintamu. aku hanya mampu
merapal serapah pada omelanmu, cemberutmu dan bentakanmu. kau
menyakitiku? rasanya aku yang lebih menyakitimu. padahal seharusnya
kita saling mencintai. mengapa ada rasa sakit? bukan kah cinta tidak
mengenal rasa sakit? apakah perasaanku padamu itu cinta? kau tak bisa
menjawabnya bukan? apakah perlakuanmu padaku itu cinta? sepertinya,
tetapi tahu apa aku tentang cinta? ah! sudahlah, perasaan kita tidak
perlu dinamai, biarkan saja. kita hanyalah ibu dan anak. hubungan kita
seperti majikan dan budak. seperti yang kukatakan ketika aku kembali
menyakitimu waktu itu.

-girls will turn to mothers, so mothers, be good to your daughters too-JM


4.1.05

lain-lain bukan seputar aceh


03-jan-05 23:31
from: ****** ***
AlhamduliLlah baru landing di iskandar muda Aceh. Doain ya biar bisa jd bag. dari solusi, ndak malah jadi masalah. BismilLah..

aku tak rajin berdoa. aku juga kurang paham makna mendirikan shalat. aku hanya tahu rukun sembahyang, maka itu yang kulakukan.

aku
mendoakan aceh, lokasi, suasana dan penduduknya. karena aku egois,
meski bukan saat yang tepat, aku pun mendoakanmu. meski aku tahu kau
tidak akan pernah melihatku melakukannya apalagi mendengarkan doaku.
semua hanya karena aku mengagumimu yang memiliki empati yang mungkin
jauh lebih besar dari siapapun yang akhirnya menggiringmu ke sana.

jika
suatu saat kau menemui tulisan ini, janganlah bertanya apa-apa karena
rasa tak bernama ini pun melayang padamu seperti ketika dahulu melayang
padanya. namun sekarang aku tidak bisa menyatakannya dengan lantang.
aku memang pengecut, tetapi dengan sepenuh hati aku berharap agar rasa
tak bernama ini dapat berkembang tanpa perlu terlegitimasi. terima
kasih karena mengacuhkanku dan sekaligus tidak menanggapiku. aku hanya
tak ingin ada yang tersakiti.