29.11.05

wallow.. mellow.. do not disturb


Kalau diperkenankan aku akan mencari ahli hipnotis paling hebat.
Lebih canggih dari Romy Rafael. Kusingkirkan semua bekas-bekasnya yang
melekat di otakku. Biarlah semuanya hilang. Aku tidak ingin seperti
Joel. Aku tidak akan memungut kembali kenangan tentang Clementine.
Hidupku bukan film Holywood. Maka tampaknya aku harus mulai
menikmatinya.

Had I been a cow I would’ve had four guts. Thus, I wouldn’t be such a coward I am now.

For
as long as I lived I only loved two persons in this world. My mother
and my grandmother. How? I don’t know. All I know is just by thinking
that I might lose both of them anytime made me miserable. I don’t think
I can manage if they were gone. I don’t want them to leave me.

Nonetheless,
recently I realized I’ve opened another space for a person that has
been a part of my life dearly for the past two years. I never thought
that I’d save this person a room. I know I cared about this person
since the first time we got to know each other. Still, I never planned
to place this person in the same place where my mother and grandmother
were. I’m not that easy in letting people come and go.

This
person deserves more than some sorry wallowing days. This person is
more than a consecutively self-repeated Natalie Cole’s Stardust or
Duncan Sheik’s Humming. I never realized that. At least not until
two weeks ago.

This person had been everything. Muse. Spirit.
Obsession. Passion. Excitement. Ennui. Advisor. Friend. Foe. Mystery.
Candor. Peril. Safety. Subject. Object. Just like my mother and
grandmother. Only better.

Yes. This is about you. I’m sorry.


28.10.05

my crush

When I was just a little girl –as a result of too many Maria dan
September and Black Beauty, I guess– I wanted a pony. I don’t remember
whether it would be male or female, but I think I wanted it to be
brown. I didn’t remember how old I was when I first desired a pony,
though. I remembered that I would talk my mother into buying me a pony.
When she said we don’t have a place to put it. I would say that it can
go in the garage. I didn’t really think that having a pony would mean
feeding, bathing, grooming and bla and bla and bla. And most
importantly, having the money to do all of the above. So, having a pony
remained a dream.

There are times when I really really wanted a
pony. Like when I was in grade five or six I used to cycle around SCTV
with my cousins, uncles and brother. When we went home, we often take
the route where we would pass an area that was known as “patung kuda”
–because there’s this big white horse statue (some say in some nights
it can turn its head *getting goosebumps*)– and somewhere near the
statue there was this little crooked house (didn’t really remember how
the house was) with quite a broad yard (well, it’s not exactly a yard,
it’s more likely to be somewhat a savana, so it’s more like a savana
with a house), and there was this horse that I believe was a pony. The
figure was pony-like. It was grey. The legs were short. It had a big
–not pregnant big– and round tummy. But my uncle called it “kuda
njembling”. Njembling is Javanese for big, round and hanging tummy
mostly cuz it contained water. He believed that it was only a colt and
that it would grow bigger. I believed that it was a pony. Thus, I often
take that route where I could pass that place. Just to see the pony.
Sometimes I even imagine that I would go wild and drop by to caress it
or if I were lucky, ride it. I never did that, though.

As time
went by I sort of forgot about wanting a pony. I got myself some cats
that I really fought for having since my father hated cats. I would
endure painful wound from parting a catfight (a real catfight) just so
I can keep my cats. If my father found out that I was hurt by cats
(even when they weren’t mine) he would throw out my cats. It would made
his point that I wasn’t able to have cats because they were dangerous
creatures. Anyways, I had cats and I forgot about the pony thing.
Mostly because I have no more connection with horsey-porsey. I stopped
watching movies or reading stories on animals because somehow those
stories were sad. I hate to see animals being abused.

Suddenly,
more than ten years later, I remembered that I used to want a pony. I
was watching the second season Apprentice and saw Kelly, one of the
contestant, being given a task to arrange a polo tournament. At first I
didn’t recall my childhood dream of having a pony, but when I saw those
horses on the field, those brown horses, I suddenly remembered. I don’t
know whether I might still want a pony or not, but reminiscing the
memory of me wanting a pony made me smile. One thing I know, when I had
the chance –meaning the money– to own a pony, I would definitely get
one or maybe even a whole herd of ponnies. Just for the sake of feeling
the should’ve, would’ve and could’ve.

I gues when little girls had their first crush on somebody older, I had mine on a pony.

ya, aku mencintaimu

Terima kasih karena telah memperkenalkan kebaikannya kepadaku.
Mengajariku untuk selalu yakin dan bahwa masalah-masalahku ada karena
cintanya. Menunjukkan lewat kesabaran menunggu sebagai bentuk cintamu
padanya. Memilah-milah mendesak, penting dan sepele. Aku tak mengerti
semua itu. Aku selalu ingin tahu apa, mengapa, dan bagaimana. Selalu
memberontak tanpa pernah benar-benar memahami tindakanmu. Nasihatmu.
Dirimu.

Aku paham jika kau lelah mengajakku mencintainya.
Mencintai caranya. Aku mengerti jika kau akan pergi meninggalkanku dan
membiarkanku bertingkah semauku. Aku akan rindu pengingat-pengingatmu
akan cintanya. Aku tidak akan lupa semuanya. Aku menghargai semuanya.
Namun, sementara ini, aku ingin mencintainya dengan caraku sendiri.
Tanpa bantuanmu. Bukan aku tidak membutuhkannya. Atau tak ingin kau
membantuku. Hanya saja aku tidak sepertimu, aku belum seyakin dirimu
bahwa ia cinta padaku. Aku ingin mencintainya sepertimu. Aku ingin
mencintainya karena ia mencintaiku.

Nanti, jika kita kembali
bertemu, semoga memang itu yang seharusnya. Qudrat dan iradatnya.
Semoga saat itu kau telah siap untuk membentangkan sajadahmu di depan
sajadahku. Memimpin takbiratul ikhram hingga salam lima kali sehari
tanpa pernah ingin berhenti. Menuntunku melafadzkan qalqalah yang
benar. Membantuku mengenal tajwid lebih intim. Membenahi hidupku. Aku
berharap jika saat itu tiba, aku telah siap mengikutimu tanpa keluh
kesah. Tak sekedar karena ingin menemanimu mencari ridhonya, tetapi
karena aku juga mencarinya. Jika saat itu tiba, aku ingin kita tidak
hanya bercinta karena kau mencintaiku atau aku mencintaimu. Lebih dari
itu, aku ingin kita bercinta karena kita mencintainya.

Sayangnya, sekarang, aku hanya tahu bahwa aku mencintaimu. Padanya? Entahlah, aku tak yakin.

6.7.05

a blast from the past

How dare you came to me last night
When all you give is nothing but fright
I don’t want to see you ever
Since I have grown much much cleverer
So, here’s the thing I want you to grasp
Get the hell out or I’ll kick your sorry ass!

I
had a nightmare of the person I entirely want to erase from my life. I
don’t even know why on earth did that person pop up last night. That
person didn’t even bother to be nice in my dream (if that
person had been nice, it wouldn’t be a nightmare, now, would it?). They
say a dream is a manifestation of one’s deepest desire, but I have no
desire to reminisce this one. I never want to see this person. I never
want to hear about this person. I never want to talk with this person.
I never want to have anything to do with this person. Never again.

However,
if it is so, why does the voice in my head keep saying, if I really
despise this person so much and want this person out of my life, why am
I scribbling this and then publish it world wide just because one silly
dream after not having any for six years?

whatelse

ketika aku sadar bahwa aku adalah salah satu dari yang mendapat vagina,
aku ingin sekali tertawa-tawa bahagia dan mengulum senyum senang.
namun, bahagia dan senang itu sedikit demi sedikit terkikis dengan serangkaian fakta.
ada
yang berhidung mancung, berbulu mata lentik, berbibir penuh gincu,
berkulit lembut kuning langsat, berambut lurus hitam dan panjang
tergerai, berpinggang gitar serta berlemak jarang, berkutang renda,
ber-rok mini seksi yang didecak kagum, ditahbis cantik, yang bernama
perempuan.
tetapi tetap merasa kurang.
sebab masih ada menunggu,
memasak, mencuci, bertelur, bermenstruasi, berpria, mengistri,
berzigot, berembrio, berjanin, berbayi, menyusui, mengibu, menenek,
membuyut, menjahit, menyulam, merajut dan lagi dan lagi dan lagi dan
lagi dan lagi dan lagi
lalu aku berkaca, tak satupun aku adalah itu semua.
ternyata vagina saja tak cukup.

16.6.05

romantisme pabrikan

aku memang belum menemukannya
ia yang memberikan sebelah rusuknya untukku
jika mitos itu bukan bualan
tetapi
aku hanya ingin ia nanti membuat kami seperti kalian
yang meskipun kadang-kadang bertikai tentang materi
atau kebiasaan yang mengganggu
namun cukup menyamankan perasaanku
dan membuat sepasang mataku sejuk
saat kau mencuci baju kami semua
dan dia menemani
atau ketika dia bercerita
dan kau menimpalinya dengan antusias
semuanya selayak sepasang sahabat lama
yang segalanya mungkin lebih dari sekadar kebetulan yang menyenangkan
meskipun kalian tidak bertemu di sebuah bistro mewah di manhattan
yang mempertemukan jonathan dan sara
namun cukup di sebuah kos-kosan murah
ketika ia hanya seorang mahasiswa miskin
sedangkan yang satunya pegawai negeri rendahan
mungkin aku tidak akan pernah mengerti mengapa atau bagaimana
hanya jika saja nantinya aku di sana
aku akan tahu
mengapa dorothy loves jerry for the man he wants to be
and for the man he almost is
dan semoga ia akan do the dishes in our kitchen sink
and put me to bed when i had too much to drink
dan kami akan sama-sama
mengetahui our highest high and lowest low
supaya we know each other like we know ourselves inside out
kemudian kami akan selalu on each other’s back
sehingga things just won’t do without each other
dan those will be the moments we thank god that we’re alive
which we could not ask for more
kami akan saling mencintai dengan sederhana
walaupun tidak harus seperti kata-kata
yang tak sempat diucapkan oleh kayu
kepada api yang menjadikannya abu
yah, jika masa itu tiba
jika suatu saat aku harus
aku hanya tak ingin terjebak
dalam hubungan imajiner seorang individu terhadap kondisi sebenarnya
aku cuma ingin seperti mereka
yang melakukannya untuk menyelesaikan masalah
bukan untuk mencari masalah
itu saja.

13.6.05

inikah internasionalisasi?

sekali lagi aku meringis kecewa kepada mereka
yang konon pintar
mengapa harus kita yang beranjak ke luar
siapa lagi yang akan tinggal
apakah nanti aku akan tinggal sendiri di sini
merenta dan bertambah bodoh serta apatis
seraya mendendangkan “you all don’t know what it’s like being male middle class and white” sebagai pembenaran atas pembodohan
dan mencibir pada “40 tahun mengabdi, jadi guru jujur berbakti memang makan hati” karena muak pada kenyataan
mengapa harus selalu amerika inggris jepang prancis dan entah apa lagi
mereka sudah memiliki veto
masihkah mereka memerlukan keterpasrahan kita
apa gunanya mempelajari nasionalisme dan falsafah negara di PDPT
jika hanya membuat kita pontang-panting dengan ketidaksanggupan
sampai kapan kita akan menjadi kuli bermandor dollar
tahukah bahwa feminis di sana kadang tidak paham tentang filosofi jilbab
sadarkah bahwa di Yale kajian Sumeria adalah dampak Perang Minyak
ingatkah kita akan sampah yang menggunung dan wabah laten
kita lebih perlu kajian Bantargebang atau Keputih atau Polio atau Tentana
UI, UGM dan Unair lebih pantas membuat kajian Badui atau Tengger
kapan kita akan bersemangat Diponegoro dan melupakan Che Guavara
akankah suatu saat masa muda kita diisi Tohpati dan bukan Joe Satriani
kemana perginya Deddy Dhukun, Odie Agam atau Dian Pramana Putra
mengapa hanya ada Avril, Mandy atau
mungkinkah kita merasa bangga dan puas hanya dengan konser Sunyahni
dan meninggalkan hingar bingar konser Java
mengapa modern adalah seteguk vanilla frappucino Starbucks diiringi Jack Johnson
mengapa bukan sesruput kopi Singa diiringi Didi Kempot
kenapa McDonalds lebih laku padahal Nyonya Suharti lebih seksi
sebelum menjadi benar-benar tidak peduli
aku akan terus bermimpi tentang suatu masa
bahwa Harvard akan mengais-ngais belas dari UI demi selembar MOU
bahwa alumni ITS lah yang akan membangun semua gedung hebat di dunia
dan membuat semua orang lupa bahwa gedung Dharmala hasil karya alumni MIT
bahwa dokter-dokter dari UI akan menemukan serum pembawa kebahagiaan
dan menyingkirkan prestasi dokter-dokter dari Cambridge
bahwa bahasa Indonesia akan menjadi bahasa antar galaksi
dan menggeser bahasa Inggris yang hanya mampu menjadi bahasa internasional
bahwa para pejabat UI akan mengenal lebih jauh siapa itu Pak Dowi dan Mas Dani
bahwa Pak Juhari atau Heri tidak perlu menjilat pada para pejabat UI
bahwa tidak perlu lagi ada pagar antara mahasiswa dan dosen dan pejabat
bahwa tidak harus ada lagi istilah ekonomi kerakyatan
karena Pak Marsah sanggup makan siang di Chopstix dan Pak Usman mau makan tongseng di KanSas
bahwa suatu hari panutan kami bukan lagi Hellen Keller atau Stephen Hawkings atau Salvador Dali
karena kami akan lebih kagum pada Mbah Masmundari atau Cak Kartolo dan Cak Sapari atau Romo Mangun
sambil bermaimpi aku akan terus bertanya-tanya
masihkah Pancasila meninggalkan nasionalisme
pada kita semua yang ingin internasionalisme

5.6.05

despite all the loathing


mungkin semua hanya karena aku tak pintar mengujarkan sayang
atau kau hanya terlalu sibuk menaruh impian
serta menagih pengharapan
asal kau tahu,
aku tak pernah ingin menjadi seorang ilmuwan
apalagi menumbuhkan uban-uban penanda seutas rasa percaya
sembari menambahkan kerut-kerut halus pada dahi
sebagai akibat dari indoktrinasi kepada segerombolan pemuda sarat idealisme
aku jauh dari pesimis, aku apatis
empatiku tentang hal-hal yang kau suka telah mati
diriku memang semata-mata tidak ingin bertaruh mencoba menjadi baik
sekarang hanya jahat yang mengendap di pikirku, di hatiku, di otakku, di nuraniku
kadang-kadang manusia tidak diizinkan untuk menikmati angannya
maka nikmatilah yang ada
sejujurnya, bagiku, kau adalah teman berbagi
tidak ada yang menampung amarah dan sekaligus minatku sepertimu
mendengarmu berkilo-kilo jauhnya dan masih mengerti ocehanku
seakan menghapus hari-hari saat aku menilaimu rendah
melenyapkan puluhan tahun masa-masa tanpa sega, nintendo dan barbie
meniadakan aturan tiran tentang kelas tiga ipa
atau sebuah tanggung jawab demi peringkat sepuluh besar di kelas
entah apakah aku pantas kau banggakan
sementara aku seringkali malu memilikimu
seumur hidup mungkin aku tidak akan pernah menyatakan apapun
tapi ingatlah bahwa sepertinya aku bukan lagi tabula rasamu
aku memang mencintaimu
dengan caraku sendiri

with the things you have and have not. forever you will always be what you are now.


13.4.05

killing time

in a so called colleagues birthday party yesterday, we - a bunch of
over confident national staffs of some international institutions -
gathered ourselves in the most convinient way. we sat together playing
riddles (or something like that). it made us laugh hard, but i'm not
sure if it is funny in other language. it goes something like this:

gimana cara membunuh gajah putih?
gampang, tembak aja, pasti mati.
bagus. sekarang, gimana cara membunuh gajah pink?
hmm.. (berbagai jawaban dilontarkan namun tak satupun sesuai)
ternyata jawabannya: kagetin aja sampai putih trus tembak. pasti mati.
baik. selanjutnya, gimana caranya membunuh gajah biru?
hmm.. (pertanyaan ini sangat tidak logis sehingga jawaban-jawaban yang bermunculan juga sama tidak logisnya).
ternyata jawabannya: cium sampai bersemu pink. kagetin sampai putih. tembak. pasti mati.
cukup bisa dipertanggungjawabkan. lalu, gimana caranya membunuh gajah kuning?
hmm..
(pertanyaan ini terbukti selain amat sangat imajinatif juga cukup
sulit, maka jawaban-jawaban yang dikeluarkan juga beragam dan tak kalah
imajinatif).
ternyata jawabannya: pukulin sampai biru. cium sampai bersemu pink. kagetin sampai putih. tembak. pasti mati.

nah,
pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana menyampaikan hal setolol yang
kami lakukan kemarin dalam bahasa selain indonesia dan jawa sehingga
hasilnya sama-sama membuat terpingkal-pingkal, dengan catatan sebelum
bermain tebak-tebakan tidak ada alkohol yang terkonsumsi.

ps: before the-killing-gajah thing we did sip a teeny tiny amount of champagne.
pps:
i am truly sorry for any organisations related to animal protection, i
promise you, no animals were harmed during that stupid session.

20.3.05

on a day like today

baru saja lifebuoy shampo turun harga, konon pisau cukur gillete dan obat batuk vicks juga
empat liter sepuluh ribu, lapor seorang supir nol dua sambil tertawa
harga bensin zaman sby kelakar preman pondok labu sambil terpingkal
orang rumah menggerutu, telur di pasar mulai mahal
orasi mahasiswa beberapa pagi yang lalu masih terngiang, tentang korupsi dan subsidi
shampo, silet, obat, bensin, telur, korupsi, subsidi, apa lagi?
haruskah aku urun panik, karna kutahu uang bulanan tak bakalan ikut berisik

saingan

bukan wanita seksi berbusana ketat bahkan bukan wanita cantik berhijab
di hadapku lebih dari itu
seorang perempuan biasa yang menjelma menjadi wanita super
bersenyawa kuat dalam simpul-simpul sarafnya
menafikan maknaku dalam semesta rasanya
aku tak akan mungkin mengunggulinya
jangankan itu, aku mungkin bahkan tak pernah hinggap meski sekejap
maka, dengan susah payah kubenahi semua
dan bersumpah bahwa aku akan berusaha
aku tak akan pernah lagi
mencoba bersenyawa dalam simpul-simpul sarafmu
maupun dengan yang lainnya

19.2.05

in memoriam

kucing betina jelek itu melangkah sembari memandangi rumahku. mungkin
ia heran mengapa hanya ada aku di sini. ya, aku tahu. aku sendirian
sekarang. istriku mati beberapa hari yang lalu. pergilah! ia berlalu.

perempuan
itu memandangi rumahku. bolu kukus dikunyahnya. ia merasa ada yang
aneh. ia melihatku sendiri. aku ingin ia mendekat. sudah lama sekali ia
tak menyapaku. ia mendekati rumahku. ia mencari-cari sesuatu di bagian
atas rumahku. ya, aku tahu. istriku. kau tidak akan menemukannya di
sana. ia mati beberapa hari yang lalu.

kok tinggal satu, ia bertanya.

ya, perempuannya mati sudah lama, jawab wanita yang sedang menyiangi bayam di samping rumahku.

ia
menatapku iba. jangan menatapku seperti itu. aku menatapnya. ia
menyuapkan sepotong kecil bolu kukusnya. aku menyambutnya. sudah lama
kami tidak seperti ini. aku tidak tahu apakah ia menyayangiku atau
bahkan mencintaiku. mungkin dulu, sekarang tidak lagi. aku selalu
menyambut uluran jari-jarinya. aku tidak tahu mengapa dulu istriku
begitu takut padanya. mungkin istriku takut karena ia begitu berbeda.
ia hanya ingin bersahabat dengan kami. ia tidak ingin menyakiti kami.
istriku takut mempercayai itu.

perempuan itu menerawang. ia
kembali menatapku. masih menatapku iba. jangan kau pandangi aku seperti
itu, perempuan. aku tak apa-apa. aku tahu istriku tidak lagi bersamaku.
sumpah, aku sudah tidak bersedih lagi. sepi, memang, tapi si kucing
betina itu masih sering duduk sambil menjilati bulu-bulunya yang
berkutu di depan rumahku. sepasang kura-kura bertempurung hitam itu
juga terkadang menghampiri rumahku meski hanya untuk mendongak. aku
tidak sendirian. asal kau masih setia mengulurkan sesuatu melalui
jari-jarimu itu. sesekali.

being sok sibuk, i didn’t realize that the green lovebird passed away few days ago.

on myth, legend, and hypocrisy

Being on the second day of muharram
He opened a conversation asking about the empress of the south sea
She replied with a story she claimed to be true
I didn’t even bother to set an ear at first
I vaguely caught the earlier part of it
It was in the eighties and on batu hiu pangandaran
When a shark which i more likely to believe as a whale from her description was stranded
People believed that it was the empress’ ride
They were afraid of her and command themselves to obey all the superstitious rules
Yet, they apparently care shit about that poor fish or mammal if it were infact a whale
They slaughtered it and took the meat
Mimi told us that the meat would make a terrific oil
I become more certain that it was a whale
I become all ears and condemned those beasts
I imagine that poor whale hyperventilating while people sliced its body parts
Cruel. Brute. Bastard.
Then a vivid image of me all modern and call crap of all the things i can’t see
digesting baby shark meat that i refer to as delicious but a bit too salty
That was approximately less than two years ago in Jogja
Hmmm...
And the hypocrit would be...

4.2.05

yoohoo!

i’m sick of the mouse scroll button. the joy of browsing on the
internet doesn’t rush my adrenaline anymore. i just don’t feel like
clicking the mouse left button. opening e-mail is no longer fun.
viewing profiles on friendster or posting blogs bored me. i don’t even
want to let my fingers caressing the keyboard.

what i feel like
doing is to lay on your chest. feeling it go up and down in a constant
pace. listening to your heartbeat. inhaling the scent of cool water for
men. putting my arms around your waist. and letting my tears go down my
cheeks and soak your over an age polo shirt. while your chin is placed
on top of my head. your left hand harassing my hair and your right hand
squeezing my left arm. just that without any vocal chords interrupting.
without you even gasping an ‘hmmm...’

this time i want you to
listen to me. i want you to hear me sniff. i want you to feel my grief.
i don’t want you the way you were when i did it while you’re driving. i
don’t want you giving me the
she-needs-her-space-now-and-i’m-just-gonna-let-her-cool-off-beside-i-have-to-pay-attention-on-the-road
scheme. i need you not to ignore me.

i don’t even know why i
put up with you afterall these times. while in fact you’ve been nothing
but thinking about yourself. you know i will always spare an ear, a
mind and a heart for you anytime. i long for the day when you would
really listen to all the things i went through. you don’t have to
comment just listen carefully with your ears, and your mind and your
heart. when you say i don’t understand you, try to understand me.

i’m
sick of the things going on and off of my life. the least thing i could
use is that you got sick of your life, especially of the one concerning
me.

27.1.05

selingkuh


aku tidak pernah membayangkan bahwa pria
berkulit kelam itu akan kembali. sekarang aku menghadapi sebuah cerita
yang semi nyata. bahwa ia adalah seorang lelaki yang sangat menarik.
dialah lelaki dalam khayalan penulis-penulis depresif yang bermasalah.
sebentuk jiwa yang nyata yang tidak hanya mengerti apa itu warna tapi
juga paham dimensi dan paham bagaimana merangkainya hingga mataku
terhibur dengan bayang-bayang yang banyak disebut orang sebagai
bernilai estetika. pikiran-pikiran cerdasnya memuai dalam otakku yang
kosong dan membuai imajinasiku. ia membuatku mengangguk setuju bahwa ia
adalah lelaki yang memaknai tindakan-tindakan berlebihan lebih dalam
dari sekedar bunga mawar lima ribuan seorang lelaki gombal kepada gadis
centil bergaun merah muda.


sayang,
aku tidak bisa memberikan pembenaran, bahkan pada diriku sendiri, jika
aku kembali melayani kehadirannya. aku hanya mampu menarik dan
menghembuskan angin dari cuping-cuping hidungku untuk mengurangi sejuta
‘jika saja.’ tak sedikitpun timbul keberanian untuk semata-mata
membayangkan sebuah ‘ternyata.’ aku hanya bergeming dan bersikap dingin
memandang huruf-huruf yang berderet dalam surat elektronik yang
dikirimnya kepadaku kemarin. aku mengharamkan diriku untuk merasa
senang atas kehadiran benda tersebut karena aku mampu merasakan bahwa
aku tidak ingin seorang aku hadir dan mengkhayalkan lelaki dekil itu
bila sekarang aku yang di sampingnya.

‘he beats you once, and he’ll beat you again!’ -ryan-the oc-




25.1.05

oh, well

Lt. Daniel Kaffee: I want the truth! I deserve the truth!
Col. Nathan R. Jessep: You want the truth?! You can’t handle the truth!
-A Few Good Men-

kejadian 1: menjelang masa-masa umptn 2001, di meja makan
ibu: mau masuk despro? wong KAMU *nggak* bisa nggambar ngono, lho!
saya: (diam saja, kata-kata sebelumnya, mulai terinternalisasi, dalam hati berpikir, emang kali, ya?).

kejadian 2: ruang bimbingan dan konseling salah satu smu negeri terbaik di surabaya
guru: kamu jadi mau ndaftar ui? ndak usah aja, ya? daripada KAMU *susah* nanti di sananya.
saya: oh, ya, bu. ndak jadi juga ndak papa. (tidak membantah, dalam hati menahan dongkol)

kejadian 3: kantin sebuah fakultas di salah satu universitas negeri di jakarta
teman 1 (wanita): kalo lo cewek yang *nggak* cantik tapi enak diajak ngobrol siapa?
teman 2 (laki-laki):DIA! (seraya menunjuk tepat di hidung saya. GEDUMBRANG!).
saya: (pasrah. jeb! shot through the heart and head!) ooooh… (nggak tau harus ngomong apa).
teman 3 (wanita): bo’! lo eksplisit, ya ngomongnya!

kejadian 4: perpustakaan sebuah fakultas di salah satu universitas negeri di jakarta
teman
1 (laki-laki): waktu gw denger lo yang jadi PO GSR, gw dalam hati
bilang, *emang bisa apa*? lo kan *nggak* tahu apa-apa (GUBRAAAAK!).
teman 2 (wanita): (tidak tahu mesti berkomentar seperti apa).
saya: (lagi-lagi pasrah dan hanya bisa tersenyum pasrah)

kejadian 5: sebuah rumah di daerah jakarta selatan
pembantu 1 (wanita): sopo sing ngeterke?
majikan (wanita): adik.
pembantu 1: *iso, tah, adik nyetir*?
majikan (wanita): (diam saja, mungkin dalam hati berpikir dua kali) wis gak usah kakean omong, ndang bukaen lawange! ayo, dik!
saya: (lagi lagi lagi, hanya tersenyum pasrah) ya!
pembantu 1: kono, sri, bukaen lawange!
pembantu 2 (wanita): nggih!

i’m
starting to get used to people doubting of what i’m capable of, and i
can see that some time they’re only saying what crossed on their mind,
but people, people, have a heart, please! it's likely that *i* can't
handle the truth

20.1.05

kartu kredit, pensiun, dan banyak hal lain


i could’ve sworn that my mum once said that she doesn’t like having
debts and that she won’t use any form of credit cards. as i recalled
she said ‘ra nduwe duwit, yo ra usah tuku, sing penting ra ngutang, ra
sah ngridit-ngridit, gampang, tho?’ she despised the fact that my dad
–being stingy and good spender with a quite fine taste for anything
him-oriented- was starting to use a credit card when i was in high
school.

our life was beginning to blossom then. we had two cars
–the same ones we had now added up with bruises here and there. he had
a mobile phone. my mum was able to pay a guy –whom i had predicted in
the first place that he’s a charlatan and that later my prophecy came
true- to do the landscape thingy for her garden. we occasionally had
dinners in fancy restaurants. and of course my dad had a credit card.

he
was paying everything that had at least six digits number written on
the price tag with his credit card. my mum –being worried for dad had
told her the story of the debt collectors who beat up his secretary for
a late bill payment- condemned that 8 times 5 centimeters object. it’s
a good attitude in my opinion, bear in mind that it’s always a good
thing not to have debts. so, i agreed with her standpoint.

yet,
what happened when she reached her pre-retirement days? she applied for
a credit card! later it was approved and there she has it, my mum’s
credit card. i didn’t know what has gotten in to her to finally go
along with the lifestyle that I doubt it was made upon her own need. at
least that was what i thought.

until i started thinking that
perhaps she do needs that credit card. she –supporting for me and my
brother’s necessities (in terms of going to the movie, paying for cars’
maintenance, buying books or unhealthy snacks etc.) and sometimes our
tuitions that was supposed to be my dad’s responsibility plus sometimes
being taken advantage by my dad for she’s a very austere and obedient
wife- must be aware that she has to be well-organized with her money
–having to earn her own income as a middling employee. along with the
retirement coming, she must have realized that she won’t be having cash
as much as she used to while she still has to aid her two
soon-to-be-an-udergraduate-yet-remain-jobless-so-far offspring. so, she
had to have that credit card.

her life isn’t that simple after
all. she has to liberate her principle for the ones she loved. i don’t
blame her for having one. people applied for credit card for plenty of
reasons. my mum had hers. with a bit of guilt –yet i still enjoyed it
anyway- i took advantage of her having a credit card, just like this
afternoon. so, it’s obvious why these days I need to have a job that
pays well. i can’t expect my dad to do the things my mum did nor can i
deceive my mum any longer. a bitch has to remain her own standards,
rite?


13.1.05

bahagiaku sederhana

tiba-tiba aku ingat tentang sepasang angsa di depan puri sekar
handayani. ekor mereka yang bergoyang-goyang. paruh mereka dengan suara
‘ngaak ngaak’ yang sangat berisik dan mengganggu tidur seorang ipeh.
tidak ada yang istimewa.

kemarin aku senang melihat seekor
kura-kura berukuran seperempat telapak tanganku. tempurung kura-kura
mungil itu nyaris terpotong gunting rumput sang perempuan gundul yang
kurang waspada. aku mengelus takjub tempurungnya yang masih berwarna
coklat gelap. ia menjulurkan kepala dan keempat kakinya malu-malu. aku
menerka-nerka usianya. tak lama, aku sudah melihatnya terjun ke dalam
kolam, bergabung dengan dua kura-kura sedang, saudaranya. sepasang
kura-kura hitam itu beranak lagi. hmm...kira-kira ia sendirian atau
masih ada saudaranya yang lain?

beberapa minggu yang lalu aku
mengunjungi spirou di dinas kesehatan. ia sedang dalam perawatan. ia
akan dioperasi. ada batu di ginjalnya. bahkan menurut dokter dengan
keadaan seperti itu, seharusnya ia sudah menjalani cuci darah rutin.
sedihnya. matanya sayu. ia malas melakukan apapun, tidak terlalu aneh,
karena ia biasa bermalas-malasan. yang janggal adalah ia juga malas
makan. spirou tidak pernah malas makan. waktu itu, tubuhnya kurus.
untung sekarang ia sudah sehat. operasinya berhasil. ia sudah mulai
makan dengan lahap. dua kali lebih banyak dari porsi yang biasa. ia
hanya perlu sedikit olah raga dan banyak minum air putih. begitu kata
dokter. supaya tidak ada lagi batu-batuan bersarang di ginjalnya.
akupun kembali lega.

beberapa bulan yang lalu aku menghabiskan
waktu dengan sahabat-sahabat lamaku. berjam-jam duduk di food court
sebuah lokasi perbelanjaan. sesekali kami minum. selebihnya kami
mengobrol. aku suka sekali berbicara tentang berbagai hal. hanya
duduk-duduk dan berbicara. sekali setahun dengan karib sma. nyaris
setiap hari dengan kawan-kawan kuliah. kadang kala dengan dosen atau
guru les. bahkan dengan orang yang baru kukenal. aku pun suka
berbincang dengan keluarga. apalagi dengan lelaki itu. di mana saja. di
dapur teman smp sambil menikmati segelas sirup coco pandan dalam rangka
hari raya. di sebuah bis antar kota menjelang waktu-waktu shalat malam.
di sela-sela pergantian mata kuliah. waktu sarapan sebelum mengakhiri
sebuah pertemuan antar mahasiswa. di dalam mobil saat perjalanan mudik.
di meja makan disambi mengunyah lumpia gorengan ibu setelah sembilan
jam terpaku di kereta. di suatu malam menegangkan saat penghitungan
suara pemilihan ketua sebuah lembaga. terutama di perpustakaan selagi
menanti lampu untuk menyala lagi atau bahkan saat liburan. aku
berbicara tentang apa saja. masa lalu. kucing. kuliah. film. musik.
buku. olah raga. politik. gosip. prinsip. harapan. impian. ambisi.
penyesalan. keluarga. teman. sahabat. saudara. pacar. dan tentu saja,
cinta.

di suatu musim hujan, aku memandang keluar jendela. dua
ekor katak sedang berlompat-lompatan. precil, kata orang jawa. katak
kecil. bukan kecebong. mereka sedang menikmati hujan. biasanya, di
rumah nenek, jika hujan lebat datang, aku membantunya menangkapi
katak-katak kecil yang tanpa malu-malu masuk rumah. bukan pekerjaan
mudah. mereka tidak hanya berdua. kadang-kadang ratusan. apalagi bila
air selokan meluap. dulu, ketika di samping rumah belum dibangun rumah
tingkat, tiap kali hujan selalu terdengar suara katak-katak bernyanyi.
senangnya. kamarku pun belum bocor saat itu. sesekali tergerak hatiku
untuk membuka jendela dan mencoba menangkap precil-precil itu. aku
rindu memegang kulit licin mahkluk-mahkluk amfibia itu. lalu aku ingat
betapa kesalnya jika ibuku menyuruhku mengangkat jemuran ketika aku
sedang bermain. perusak kesenangan orang. serta merta kuurungkan
niatku. selain itu, aku suka melihat mereka melompat-lompat.

aku
selalu suka jalan-jalan. hanya bersama sepasang kaki-kaki lambatku di
pagi hari menyusuri jalan pintas menuju kampus. diam membisu dan
menikmati jajaran pohon kapas sendirian. atau sambil bercanda konyol
dengan teman-teman dan sahabatku yang baru saja turun dari kereta api
listrik. juga tentu saja sembari berbagi koran pagi dengan lelaki itu.
aku pun suka berkendara. dari becak sampai pesawat. semuanya. di pagi
buta dengan mata yang masih setengah mengatup. di tengah-tengah
keriuhan bis, bemo dan sepeda motor jahanam. di panas terik di
sela-sela lirik-lirik pengendur semangat. beberapa jam sebelum adzan
maghrib selagi menikmati berpotong-potong cemilan tak sehat. mulai
surabaya hingga lombok. sendiri. berdua. beramai-ramai. dengan kakak.
atau ibu. keluarga besar. keluarga inti. juga teman-teman. sahabat.
serta pastinya lelaki itu. entah untuk sekedar kota-kota. sekolah. les.
belanja. ibadah. menjenguk. mengantar. menjemput. mencari. apapun.

gampang,
yang penting hatiku senang. hanya membutuhkan mata, telinga, lidah,
otak dan hati. tidak mahal. sebagian orang menyebutku simple pleasure.
mungkin mereka benar. kalau dibuat enak ya enak, enggak ya enggak. tak
pernah mau diatur oleh keadaan dan selalu berusaha untuk menikmati
apapun. meskipun tidak mudah. selalu mencoba belajar dari sesuatu yang
sangat dibenci ‘hidup memang sudah susah. tapi jangan dibikin susah.’

tentang beribu jam setelah perintah selembar keju


ketika aku sadar bahwa kata-kata itu hanyalah luapan kekesalanku, aku
hanya bisa mengeluarkan helaan panjang. aku tidak pernah benar-benar
membencimu. sama bukan? kau pun begitu. hanya kadang aku tak mengerti,
kau selalu memintaku begini dan begitu, tanpa kau sisihkan waktu untuk
mendengar keberatanku? jika ceritaku menjenuhkan pikiranmu atau
nyanyianku terdengar seperti suara penyiar melafalkan rentetan
harga-harga tomat bondol dan cabe keriting di RRI, mengapa tak kau
katakan? hmmm. aku pasti akan sakit hati? tentu saja, tetapi itulah
saat ketika aku belajar menerima bahwa aku tidak sempurna.

aku
kembali menghela nafas ketika aku ingat bahwa masalahmu bukan hanya
aku. aku harus membagimu dengan yang lain. dunia tidak hanya tentang
dirimu untukku. namun, sempatkah dirimu menanyakan siapa lelaki-lelaki
yang terkadang singgah setelah adzan isya berkumandang. atau sudikah
kau tinggal dan bercakap-cakap dengan teman-teman wanitaku seperti
ketika secara tak sengaja mereka berkendara bersama kita? atau
khawatirkah dirimu ketika aku bermalam dengan berpuluh-puluh orang yang
baru saja kukenal selama kurang dari tiga bulan? kau jarang melarangku
melakukan sesuatu. lucunya, kadang aku ingin kau melakukan itu. kau
tidak ingin aku membencimu karena kau mengekangku? jangankan tentang
itu, aku juga sudah kesal padamu dengan berbagai alasan yang lain.

kadang
semua terasa lebih berat, seperti ketika aku sadar bahwa aku masih
menyimpan kenangan ketika dirimu dengan setia menantiku di dalam mobil
di depan gerbang sekolah. saat kau menungguku selama berjam-jam di
parkiran yang terik, sementara aku bercanda dengan teman-temanku. tidak
banyak orang yang mau melakukan itu untukku. bahkan orang-orang yang
digaji papa pun tidak suka menungguku selama itu. hanya kau yang mau
melakukannya. tanpa gerutuan sesudahnya. gratis. ditambah senyum lepas
dan sebungkus martabak mini. aku pun tak pernah bertanya mengapa.

semoga
hidupku tidak akan pernah benar-benar menjadi seperti joel dan
clementine. aku menghargai setiap kenanganmu bersamaku. bahkan yang
terpahit sekalipun. meskipun mungkin diriku tidak akan pernah berterima
kasih atas kehadiranmu di dalam kehidupanku. aku tidak akan sempat
memujamu. aku tak punya waktu mencerna kasihmu. aku tidak akan ingat
jika dirimu pasti akan melakukan apapun untuk membahagiakanku. aku
tidak pernah merasakan sayangmu, senyummu, cintamu. aku hanya mampu
merapal serapah pada omelanmu, cemberutmu dan bentakanmu. kau
menyakitiku? rasanya aku yang lebih menyakitimu. padahal seharusnya
kita saling mencintai. mengapa ada rasa sakit? bukan kah cinta tidak
mengenal rasa sakit? apakah perasaanku padamu itu cinta? kau tak bisa
menjawabnya bukan? apakah perlakuanmu padaku itu cinta? sepertinya,
tetapi tahu apa aku tentang cinta? ah! sudahlah, perasaan kita tidak
perlu dinamai, biarkan saja. kita hanyalah ibu dan anak. hubungan kita
seperti majikan dan budak. seperti yang kukatakan ketika aku kembali
menyakitimu waktu itu.

-girls will turn to mothers, so mothers, be good to your daughters too-JM


4.1.05

lain-lain bukan seputar aceh


03-jan-05 23:31
from: ****** ***
AlhamduliLlah baru landing di iskandar muda Aceh. Doain ya biar bisa jd bag. dari solusi, ndak malah jadi masalah. BismilLah..

aku tak rajin berdoa. aku juga kurang paham makna mendirikan shalat. aku hanya tahu rukun sembahyang, maka itu yang kulakukan.

aku
mendoakan aceh, lokasi, suasana dan penduduknya. karena aku egois,
meski bukan saat yang tepat, aku pun mendoakanmu. meski aku tahu kau
tidak akan pernah melihatku melakukannya apalagi mendengarkan doaku.
semua hanya karena aku mengagumimu yang memiliki empati yang mungkin
jauh lebih besar dari siapapun yang akhirnya menggiringmu ke sana.

jika
suatu saat kau menemui tulisan ini, janganlah bertanya apa-apa karena
rasa tak bernama ini pun melayang padamu seperti ketika dahulu melayang
padanya. namun sekarang aku tidak bisa menyatakannya dengan lantang.
aku memang pengecut, tetapi dengan sepenuh hati aku berharap agar rasa
tak bernama ini dapat berkembang tanpa perlu terlegitimasi. terima
kasih karena mengacuhkanku dan sekaligus tidak menanggapiku. aku hanya
tak ingin ada yang tersakiti.