6.5.08

suicidal

setiap kali melalui perempatan itu yang terbayang adalah melintas dengan terburu-buru. berpura-pura tidak tahu bahwa lampu menyala hijau. diam-diam menyerahkan diri kepada moncong-moncong kijang baru atau hidung pesek bis-bis tigaperempat yang berlalu dengan kecepatan penuh mampu menumbuk apapun yang ada di depannya. termasuk penyeberang yang sudah tidak tahu lagi apa yang masih penting. kemudian ia akan terlempar dengan cepat ke aspal yang panas karena sudah tiga hari tidak hujan. rambutnya yang kusam tapi tersisir rapi akan membelai jalanan yang mungkin rapat dengan ludah kondektur bis. kilat-kilat ingatan masa kecil yang naif hingga penyebab ia menjadi mahkluk dewasa yang apatis akan berserakan di pikirannya. seperti keping-keping kaca patri yang meletik-letik dipecahkan orang-orang berotak keruh di sebuah gereja jelek yang pernah dilihatnya di suatu tempat yang kini sudah tak penting lagi. seiring dengan terhempasnya tempurung otaknya ke pinggir trotoar, masa-masa indah dan suram berlompatan bergantian semakin cepat semakin tak jelas. bagaikan adegan-adegan di sebuah film terorisme yang dibintangi dennis quaid yang judulnya tak lagi perlu dipikirkan keras-keras. lebih baik mengingat wajah ibu yang datar namun mahir mengolah mi instan yang karenanya ia mencintainya. tak sampai sedetik cairan-cairan merah segar akan segera mengalir meninggalkan tubuhnya. ia tidak akan sempat menangis. entah apa lagi yang masih bisa dilakukannya. mungkin sekali lagi menarik nafas panjang. untuk membantu melepaskan jiwa yang masai dari raga yang masih layak pakai untuk lebih dari tigapuluh tahun lagi.

sampai sebelum kemarin, ia tidak pernah menemukan alasan yang tepat untuk mewujudkan khayalannya.


-iskandarsyah post, setiap saat sejak itu-

 

Tidak ada komentar: