11.5.07

the bitch you wished you'd slap


mungkin bagi semua orang yang gemar nonton film indonesia di bioskop-bioskop, saya bukan tetangga menonton yang menyenangkan. penyakit -yang entah mengapa hanya terbawa ketika menonton film-film indonesia- akut nan kronis saya adalah mengoceh alias mencela alias ngemeng sepanjang film berlangsung. ada saja yang bisa menyulut komentar saya. bisa setting yang nggak masuk akal. dandanan yang berlebihan. akting yang yah-biarin-deh-standard-sinetron-yang-penting-muka-gw-nongol-di-layar-lebar. sampai aksen terlalu bule aktor-aktor karbitan yang termaafkan semata-mata karena ketampanannya menusuk mata.

dengan berat hati saya mengakui bahwa saya memang salah satu kritikus wannabes. dari sekian banyak film indonesia yang pernah saya tonton dalam rentang 7 tahun belakangan, sepertinya hanya jelangkung yang lolos dari sabetan lidah tak bertulang milik saya. itupun karena ketika film itu muncul, wawasan saya masih tertutup rapat. bakat terpendam belum tergali. taring berbisa juga baru numbuh. untungnya, tak lama setelah itu, i fulfill my calling. eiffel i'm in love. virgin. heart. de bijis. nagabonar jadi dua. dan bla. dan bla. dan bla. sampai dengan yang paling gress: suster ngesot. semua tercela dengan sukses dan sadis.

meskipun hobi mencela film indonesia bukan berarti saya tidak mempunyai film indonesia yang saya sukai. saya sangat menyukai film 'kejarlah daku kau kutangkap.' saya tidak ingat detil-detil ceritanya, tetapi yang paling membekas adalah tokoh pak markum yang kalau tidak salah ingat adalah paman deddy miswar (ramadan) yang nantinya dipasangkan dengan ully artha (saya lupa nama tokohnya). membekas selain karena pak markum ini mewakili jutaan bujang lapuk di indonesia yang terlalu sibuk menganalisa wanita hingga lupa (atau malah tidak tahu) cara pacaran. sangat menarik. karena sedari kecil saya akrab dengan karakter seperti beliau. yah, walaupun (tuh, kan, pasti ada aja celanya) rada gengges juga nonton lidya kandouw ber-skinny jeans ala giring nidji.

tapi, bukan tanpa motivasi jika saya hobi berkomentar tentang apapun yang saya lihat di layar (entah kaca entah lebar). motivasi saya hanya satu, yaitu: menjauhkan diri dan pikiran dari budaya bentukan. mass culture is eroding our lives. kita kan manusia berakal berbudi. jangan mau dicekoki tayangan apapun di layar (baik kaca maupun lebar). semuanya berujung pada satu hal: konsumerisme. tentang bagaimana dan mengapa, itu akan membutuhkan duduk santai ditemani segelas es teh manis dan minastel panas. panjang dan menggairahkan. memang, komentar-komentar saya selalu membuat orang berpikir 'ih, ngemeng, mulu, deh, lo! gengges!', tapi bukan masalah. even rome wasn't built in a day, kan?

makanya, sekarang, jika anda kenal saya, dan saya ngemeng ketika menonton sesuatu bersama anda, ingat-ingat saja: saya hanyalah satu dari segelintir orang yang percaya bahwa layar (kaca sekaligus lebar) yang melahirkan komunitas baru berjuluk 'selebriti' itu adalah virus mematikan yang harus dilawan dengan gigih. apapun yang anda lihat, dengar dan rasakan dari tontonan, jangan langsung diangguki. anggap saja angin lalu. datang tak dijemput. pulang tak diantar. anda tidak perlu ikut nyangkut. apalagi terseret. selamat menonton. selamat mencela.

hidup penonton mawas!



9 komentar:

Ru . mengatakan...

Marni. :)
Salam kenal.

neurotic freeloader mengatakan...

o iya marni..
salam kenal juga :)

alex aceh mengatakan...

Nice post, swasti...
Perfilman memang salah satu media yang paling cocok untuk membius otak. Tak beda dengan macam-macam zat adiktif lain. Celakanya, sering sekali begitu dalam pengaruhnya, sehingga kita membenarkan apa yang disajikan. Bahkan jika itu berkenaan tentang sejarah yang belum pasti sama sekali (masih ingat bagaimana seorang suharto menjadi HERO dalam G30-S-PKI?). Atau tentang holocaust misalnya?

Seringnya juga malah film-film tentang yang benar dan yang baik itu dibungkus apik oleh mereka yang menganut komersialisasi full version, sehingga, seperti kata RATM, "What you need is what they sellin', made you think that buyin' is rebellin'"

Bicara tentang film Indonesia... aku masih lebih suka film-film tahun 80-90-an. Lebih "endonesa" dari yang sekarang, dari film-film era "chicklit, teenlit " atau apa pun yang bertema "remaja+cinta" melulu. Kehidupan modern tentang cowo-cowo tampan high-style atau mahasiswi2 yang begitu aduhai dalam hal cinta dan hidup bertiga di rumah gedongan dengan kehidupan jet-set.Liat sajalah tren ala 30 Hari Mencari Cintrong atau Eiffell... I'm In fvck!n' love :D

Bahkan Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran, menjadi hambar dengan sosok Wulan Guritno yang begitu "modern" wajahnya utk ukuran tahun 1960-an.

*masih menjagokan Naga Bonar versi pertama :P *

neurotic freeloader mengatakan...

setuju, leks.

tapi sosok simetris di layar kaca (atau lebar) memang cukup penting untuk menarik penonton. dan mike lewis itu emang ganteng. gimana dong? tamara (blezinski) aja kepincut. apalagi loen. hihihihi:)

Lintang G. mengatakan...

senang membaca tulisan ini karena saya juga orang yang selalu berisik mengenai detail-detail dalam film yang seringkali tidak cocok dengan latar waktu. apalagi film Indonesia setelah 1998. bukan apa-apa. sebagai penonton, saya jadi merasa bodoh kalau mengamini hal-hal yang tidak sesuai dengan logika, baik logika umum maupun logika yang ditawarkan dalam film tersebut. kemudian saya jadi bertanya, apakah sebegitu sulitnya untuk membuat cerita yang tidak perlu bagus, tapi setidaknya punya logika yang dapat diterima dan dimengerti. *garuk-garuk kepala*

alex aceh mengatakan...

@swasti

lho? apa kalo seorang tamara kepincut mike lewis, aku mesti kepincut juga? Ya oloh... orang bisa nuduh aku homo, swas... :D

oke... oke... sosok simetris memang diperlukan. Monica Beluci di film Malena juga kayanya susah di ganti sama sosok biasa. Tapi keseringan, sosoknya jadi "lebih manis dan menggairahkan" daripada cerita film itu sendiri...
Misal nih: film Indonesua yang paling bikin aku ketawa (padahal katanya film ROMANTIS), itu film ANDAI IA TAHU. Bah..! Akting Si Marcell itu sucks benar. Nggak tau deh, siapa yang naro dia di itu film. Rachel Maryam? Tampang oke... tapi aktingnya jadi garing gara-gara skenarionya sering gak masuk akal. Yang nari di dalam lift lah... halaahh....

@nawaditingal

wah, berarti kita sama donk. Paska 98, film Indonesia emang jadi aneh. Cuma jadi kaya ngejar jumlah antrian bioskop saja. Atau aji mumpung, mumpung perfilman lagi bangkit. Liat saja yang terbaru ini: SUSTER NGESOT. Waduh... aku nontonnya itu jadi miris sendiri. Si Nia Ramadhani itu kok kayaknya masi takut bener muke cantiknya jadi cemong kalo akting sungguhan? Makan ceker ayam saja diheboh-hebohin sbagai "akting total" katanya dia. Mbok ya ngaca sama Dian Sastro yang gak ilang cantiknya meski cemongan di film Pasir Berbisik :D

Bukan mau menghujat perfilman sendiri. Ini kan cuma hak sebagai penonton yang dilempari produksi dalam negeri. Yang iklannya dipajang depan mata, diperdengarkan di telinga.
Toh, aku masi respek dengan beberapa produk lokal. AD2C masi terhitung bagus lah... sampai bisa dikatakan merupakan faktor pemicu booming-nya film2 dalam negeri. Terus ada NOVEL TANPA HURUF R, DAUN DI ATAS BANTAL. JANJI JONI juga oke, apalagi dengan ide meletakkan band-band indie dan tidak terjebak pada mainstream yang meletakkan Bjork-wannabe.... eh, maksudnya Melly sebagai pembuat original soundtrack.

Masalah logis.. kalo aku masi bisa ditolerir sekal-kali, asal jangan kebangetan kaya sinetron2 busuk jualannya haRAM PUNJADi itu :D

Yaaa.. setidaknya ceritanya baguslah, dengan akting yang mantap...

PS: lagi2 jadi nge-blog di blogmu, Swas... :P

neurotic freeloader mengatakan...

aleks: you are more than welcome to bitch about on my blog. daripada lo giting ato tidur mending ngeblog.

nawaditingal: aduduh my muse in writing thesis, i salute you!!!!
memang sepertinya mulut ini gatal melihat film2 indonesia sekarang. coba deh liat 3 hari untuk selamanya, sinematografinya bagus.. sayang konflik antar karakternya rada kurang terbangun.

tapiiiiiii.. yang lebih gengges adalah ulasan di tempo tentang film ini.. some people just can't bitch in a graceful way. people on blogs are better, deh.

Lintang G. mengatakan...

i rest my case with LSC. she managed to avoid writing about film critic by babbling about how a film is bad because the only good thing about that film is the handsome male actors (read her review about Ocean's Thirteen). My question is: then why write anything??

about your thesis: how was it? and...ahem...can i have my thesis back..? *grin*

neurotic freeloader mengatakan...

nawaditingal: thesis was okay.. traumatic but i'll live. yours.. ehem ehem.. aku harus mencarinya dulu hehehehehe
tentang ulasan 3 hari untuk selamanya.. bukan LSC yang nulis.. tapi seorang lelaki.. aku lupa namanya.